Sumber : Kompas Cetak
Senin, 30 Maret 2009 | 21:11 WIB
Oleh: LIS DHANIATI
Tampak dari luar, rumah di Jalan Sekeloa Selatan II, Dipati Ukur, Kota Bandung, itu tak berbeda dengan bangunan di sekitarnya. Rumah itu berada di antara kepadatan daerah yang menjadi lokasi beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Harapan Bangsa, dan Universitas Komputer Indonesia. Bedanya, di depan rumah itu ada papan nama bertulisan Museum Miniatur Kebudayaan.
Apa itu ”museum miniatur kebudayaan”? Rupanya, sebagian ruangan di rumah tersebut difungsikan untuk memajang miniatur berbagai alat musik dan permainan tradisional Sunda.
”Sebenarnya saya risi menggunakan kata museum. Sebab, dari segi penampilan, masih jauh dari layak untuk museum. Bahkan, akses jalan menuju tempat ini juga kurang mendukung,” kata Tine Mulyatini, pemilik rumah itu.
Namun, dia sengaja menulis ”museum” karena selama ini Tine merasa prihatin pada kondisi kebudayaan tradisional Sunda yang makin tergerus dan jauh dari perhatian orang. Ia berharap kata ”museum” bisa menarik perhatian lebih banyak orang untuk peduli kepada kebudayaan Sunda.
Pengunjung bisa melihat berbagai bentuk miniatur dari benda yang bisa mengingatkan orang pada kebudayaan Sunda. Di sini dipajang antara lain berbagai bentuk alat musik tradisional Sunda, seperti angklung, calung, dan gamelan. Adapun koleksi miniatur permainan tradisional Sunda yang bisa dilihat antara lain kolecer (kincir angin), bandring (katapel), dan totoroktokan. Belakangan ini sebagian besar alat permainan anak-anak itu sudah jarang terdengar, apalagi digunakan.
Selain miniatur alat musik tradisional Sunda dan permainan khasnya, pengunjung juga bisa menikmati miniatur rumah tradisional Sunda. Tak hanya bentuk rumahnya, tetapi juga berbagai alat memasak tradisional seperti hawu (tungku).
Bahkan, untuk membuat orang bisa membayangkan apa saja yang ”berbau” tradisional Sunda, Tine melengkapi isi museumnya dengan miniatur berbagai makanan khas Sunda, semisal aliagrem (penganan terbuat dari tepung beras dan gula merah yang digoreng).
Semua miniatur yang dipajang di Museum Miniatur Kebudayaan ini dilengkapi keterangan singkat mengenai sejarah dan kegunaan masing-masing.
”Kami menanggung biaya operasional museum ini secara mandiri,” kata Tine. Dia sekaligus menjadi kepala museumnya.
Untuk urusan Museum Miniatur Kebudayaan, Tine bertugas mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan fungsi manajerial. Akan halnya teknis produksi untuk membuat berbagai bentuk miniatur benda-benda khas Sunda, itu dikerjakan oleh dua adiknya, Dadang Surahman (32) dan Ari Irawan (27).
Permainan anak-anak
Keberadaan museum ini memang baru dirintis empat-lima tahun lalu sehingga relatif belum banyak orang yang tahu keberadaannya. Untuk itulah, pada Februari 2009, misalnya, Tine berusaha ”memperkenalkan museumnya” dengan menggelar pentas permainan anak-anak.
Pada acara itu ditampilkan berbagai permainan yang dikenal Tine semasa kanak-kanak, seperti oray-orayan, perepet jengkol, paciwit-ciwit lutung, dan ucang-ucang angge.
”Kami bekerja sama dengan rekan-rekan seniman untuk mengajak anak-anak mengenal permainan tradisional Sunda yang nyaris terlupakan,” kata Tine.
Selain demi mempertahankan permainan tradisional khas Sunda, sebenarnya lewat berbagai permainan tradisional itu anak-anak bisa belajar atau ”diajari” manfaatnya.
”Permainan tradisional itu tak sekadar mengajak anak-anak bermain, tetapi mereka sekaligus belajar bagaimana harus bekerja sama dalam satu tim, atau bagaimana mereka mesti kreatif,” katanya.
Contohnya perepet jengkol. Ini permainan yang melibatkan sedikitnya empat orang anak. Satu kaki mereka berkait-kaitan. Mereka harus bisa berjalan berputar-putar sambil menyanyi.
Museum ini sebenarnya berawal dari bisnis. Tine yang semula bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan tekstil di Bandung hanya ingin menambah penghasilan dengan berbisnis.
Ide awal mendirikan usaha kerajinan muncul setelah dia melihat kemampuan kedua adiknya, Dadang dan Ari, yang suka dan pandai mengukir. ”Mereka belajar mengukir dan membuat berbagai kerajinan secara otodidak. Sambil melatih kemampuan, sesekali Dadang dan Ari menerima pesanan pembuatan produk kerajinan. Saya pikir, mengapa kami tak membuat sendiri produk kerajinan itu?” ceritanya.
Ia dan kedua adiknya lalu mendirikan usaha kerajinan berbendera CV Waditra Indojaya. Dalam bahasa Sunda, waditra berarti alat musik. ”Semula motivasi saya hanya bisnis, tetapi kami lalu terpanggil untuk ikut melestarikan kebudayaan Sunda dengan kemampuan yang ada,” katanya.
Alat-alat musik
Tine memilih membuat miniatur alat musik tradisional Sunda. Pada awalnya mereka hanya memproduksi miniatur alat musik dalam bentuk satuan, misalnya degung atau gong saja. Mereka memanfaatkan pameran sebagai salah satu media pemasaran.
”Saat pameran, kami sering mendapat pertanyaan dari pengunjung tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kerajinan yang kami jual, misalnya tentang fungsi dan arti namanya,” katanya.
Pertanyaan para pengunjung pameran itu sepele, tetapi Tine ternyata kesulitan memberikan jawaban yang memuaskan. Dia merasa tertantang untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi pengunjung.
”Kami berusaha mencari referensi, baik melalui buku, internet, maupun bertanya kepada para seniman,” katanya. Pengetahuan itu lalu dituangkan dalam bentuk keterangan singkat yang dilampirkan pada setiap kemasan produknya.
Tantangan lain datang ketika masuk pesanan seperangkat alat musik tradisional Sunda, lengkap dengan panggungnya. Lagi-lagi, dia harus berburu referensi untuk memenuhi pesanan itu.
”Kami jadi tahu lebih banyak tentang jenis-jenis alat musik Sunda berikut fungsinya,” ujar Tine yang pada 2005 memecahkan rekor Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) dalam pembuatan miniatur gamelan terkecil. ”Pembuatannya rumit. Kami harus menggunakan kaca pembesar dan pinset,” tambahnya.
Selain alat musik, Waditra kemudian memproduksi kerajinan lain, seperti gelang dan kalung. Pada produk ini pun ciri tradisional Sunda tetap dipertahankan. Misalnya, kalung dilengkapi liontin berbentuk topeng Sunda atau lempeng tipis dengan ukiran huruf kaganga (aksara kuno Sunda).
Dari sisi bisnis, usaha cenderamata ini relatif lancar. Namun, motivasi idealis tumbuh setelah melewati berbagai tantangan usaha. ”Untuk membuat benda dalam ukuran asli, pasti dibutuhkan banyak biaya. Dengan miniatur, orang bisa memiliki dan mengetahuinya dengan harga relatif terjangkau,” kata Tine tentang pemilihan miniatur sebagai produknya.
Meski pesanan relatif tak pernah sepi, Tine merasa belum puas. ”Saya ingin Waditra menjadi salah satu tujuan wisata budaya di Jawa Barat. Di sini orang bisa melihat miniatur benda-benda kebudayaan Sunda. Pengunjung juga bisa belajar membuatnya lewat workshop,” kata Tine.
Data Diri
• Nama: Tine Mulyatini
• Lahir: Bandung, 10 Oktober 1970
• Pendidikan: D-1 Sekretaris
• Suami: Ahmad Kustiana
• Anak: - Jodi Anggadiputra (15) - Marion Tiffani Putri (7)
• Penghargaan: Rekor Muri untuk gamelan terkecil, 2005